TRIBUNSINJAI.COM, TELLULIMPOE – Humas Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Agama Islam (IKA KPI) Unismuh Makassar, Arinal Hidayah Amsur menceritakan kisah hidupnya berasal dari kampung terpencil di Sinjai, Sulawesi Selatan.
Kampung halamannya tak punya listrik kala itu, jalanan berlumpur hingga susah dilalui dulu sampai sekarang.
Arinal Hidayah Amsur bersama beberapa orang saudaranya harus berjuang keras untuk hidup dan menuntut pendidikan.
Tak ada pilihan lain kecuali berinvestasi melalui pendidikan.
Mereka terlahir dari keluarga yang penuh keterbatasan dari finansial.
Saat orang tuanya bernama Ambo Raju berjuang keras ingin memperbaiki kehidupannya mengumpulkan pundi-pundi rupiah, sebuah musibah besar yang menimpa mereka.
Rumah dan seluruh isinya terbakar, orang tua Arinal sapaan Arinal Hidayah Amsur hanya mampu selamatkan uang tunai kurang dari Rp 500 ribu dan dan sebuah radio.
Tidak berselang lama, kebun sebagai tempat untuk menyambung kehidupan keluarga Arinaljuga diterjang banjir bandang tahun 2006 lalu.
“Dari kedua musibah inilah menjadikan keluarga kami sangat berat menjalani kehidupan sehari-hari,” ungkap Arinal Hidayah Amsur yang juga Mantan Tenaga Ahli Keagamaan Kabupaten Enrekang (2020 – 2021), Senin (7/3/2022).
Satu-satunya investasi orang tua Arinal, Ambo Raju-Suryani yakni mendorong anak-anak untuk sekolah.
“Sekolahki nak, tidak ada yang bisa kami wariskan selain pendidikan,” kata Arinal menirukan perkataan orang tuanya di masa itu.
Ia bercerita bahwa ia tidak memiliki harta yang bisa ia wariskan kepada anak-anaknya.
Semua apa yang dibangunnya dulu habis tak tersisa oleh kedua peristiwa besar.
Namun, dari kejadian itu mereka justru tak meratapi nasibnya.
Keduanya malah sangat optimis dengan mendidik anaknya cinta dengan pendidikan.
” Orang tua kami berperinsip, anak-anakku harus sekolah. Biarlah Kami sebagai orang tua berkorban semaksimal mungkin untuk membiayai pendidikan mereka. Keduanya tak henti-hentinya berusaha dan terus berdoa agar anak-anaknya supaya bisa sekolah,” ungkap Arinal.
Tentu, butuh keuletan dan kesabaran untuk mewujudkan cita-citanya. Ia lalu mewariskan keteladanan kepada anak-anaknya agar menjaga kejujuran dan semangat belajar yang tinggi sebagai bekal untuk mendapatkan Pendidikan yang diharapkan.
Di masa sekolah, anak-anaknya, ia mendidiknya agar hidup mandiri. Ia mendorong anaknya untuk berjualan disekolah.
Beraneka macam jualan yang ia siapkan untuk dibawa oleh anak-anaknya untuk dijual.
Dimana hasil keuntungannya ia tabung untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya. Untuk mengganti buku jika tiba masanya naik semester atau mengganti pakaian sekolah yang sudah tak layak pakai.
” Kami sekeluarga makan mie instan dibagi empat orang. Ini upaya untuk menghemat seluruh kebutuhan. Jika mie instan sudah habis selanjutnya adalah makan garam dicampur minyak sebagai pengganti ikan. Bagi Kami dulu, makan ikan adalah sesuatu yang sangat langka,” ungkap Arinal.
Hidup serba terbatas bukan penghalang untuk tidak mendapat kehidupan yang lebih baik.
Hidup terlahir dari orang tua yang miskin, tapi jangan sampai mati dalam keadaan miskin.
Kedua kalimat itu menjadi falsafah hidup mereka. Arinal bersama saudara-saudara yang lainnya menjadikan sebagai intrumen melejitkan diri terus berkembang, terus maju.
Atas kondisi keterbatasan, maka orang tua Arinal hanya memilih menyekolahkan anak-anaknya bersekolah di pesantren.
Memasuki kehidupan pesantren adalah membangun jati diri, kepribadian yang mandiri, menjungjung tinggi nilai-nilai adab dan norma.
Adalah nilai yang ditanamkan untuk menghadapi kehidupan lanjutan beserta tantangnnya.
Ini sesuai dengan satu ungkapan yang masyhur “Didiklah anak-anakmu sesuai masanya.” Masa terus berubah dan banyak perubahan yang tak terelakkan.
Namun jiwa santri yang mendapat basic ilmu agama menjadikannya petarung masa depan, mampu menjawab tantangan yang dihadapinya.
Dasar itulah, ia selalu optimis untuk mengembangkan kapasitas diri dan memiliki skil-skil yang relevan dengan zaman agar mampu memberi solusi-solusi yang tepat.
Untuk itu, harus cekat melihat situasi yang ada.
Sebagai santri, ada keprihatinan tersendiri melihat realita yang terjadi.
Utamanya tantangan dakwah di tengah perkembangan teknologi yang menghujam yang tak dapat dibendung.
Lebih khusus keprihatinan kepada umat. Dari data yang ada, Indonesia adalah umat islam terbesar di Dunia totalnya mencapai 87,2 persen atau setara dengan 229 juta jiwa.
Namun umat Islam yang tidak bisa ngaji juga dengan jumlah yang sangat besar yaitu sekitar 65 persen. Artinya, yang bisa ngaji hanya sekitar 35 persen saja.
Ini adalah sebuah realita yang harus diseriusi.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, Arinal mengajak kepada seluruh santri yang ada untuk mengangkat slogan ‘Santri Bangga jadi Guru Ngaji” dimana dan apapun profesinya, harus jadi guru ngaji.
Dalam penjabarannya, #SantriBanggajadiGuruNgaji apapun pekerjaan, dimanapun bekerja, ruang untuk mengajar ngaji harus dipersiapkan. (*)
DATA DIRI:
Nama: Arinal Hidayah Amsur, S.Sos
TTL : Sinjai, 07 Mei 1997
Pendidikan:
- SD : SDN 193 Jenna
- MTs. Syiar Islam Sinjai
- SMA: MA. Darul Hikmah Lengg-Lenggo
- Alumnus Ma’had al Birr Universitas Muhammadiyah Makassar
- Alumnus Sekolah Dai Internasional Aqsa Institute Bandung
- Alumnus Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Muuhammadiyah Makassar
- Mahasiswa S2 UIN Makassar
Pekerjaan: - Sekertaris Yayasan Kekasih al Aqsa Forum (KAF) Sulsel
- Ketua Panrita Yasmin Kab. Gowa
- Designer Yayasan Cinta Bumi al Quds Sulsel
- Tenaga Ahli Keagamaan Kab. Enrekang (2020 – 2021)
- Humas IKA KPI Unismuh Makassar (2022 – 2026)
Artikel ini telah tayang di Tribun-Timur.com dengan judul Cerita Arinal, Pria Sinjai yang Sukses Lewat Jenjang Pendidikan, https://makassar.tribunnews.com/2022/03/07/cerita-arinal-pria-sinjai-yang-sukses-lewat-jenjang-pendidikan.
Penulis: Samsul Bahri | Editor: Saldy Irawan